Wednesday, November 03, 2004

Sebuah Dialog Diam

Kereta bergerak menyusuri alur, mendendangkan irama perjalanan.
Gelap di luar memperjelas pantulan wajah di kaca.
Ada aku dan dia, sang bayangan, saling menatap.
Dialog yang tadi terputus, mengalir kembali…

"Kamu?" begitu tanyanya.

"Iya," jawabku penuh keyakinan.

"Kamu bisa menyakiti hati orang lain?"

"Tentu. Aku sudah pernah menyakiti orang lain."

"Lalu, itu sudah cukup untuk menjadi seorang teroris?"

"Siapa tahu."

"Nggak usah, deh. Kamu nggak cocok menjadi teroris. Sudah cukup banyak teroris di luar sana. Kamu jadi kamu saja, ya."

"Kenapa aku tidak diperbolehkan menjadi teroris? Apakah aku harus menjadi yang baik di dunia ini? Jika memang dunia adalah panggung sandiwara, kenapa aku tidak bisa menukar peranku dengan peran yang lain. Toh seorang pemain yang berbakat adalah seorang yang bisa memainkan banyak peran. Aku juga ingin menjadi pemain yang berbakat. Aku juga ingin menjadi..."

Dialog kami terputus. Sinar lampu terang di luar mengusir pergi bayangan.
Aku sendiri lagi. Menghentikan dialog tanpa awal dan akhir. Di antara diam yang berjalan.

"Station Schiphol Airport," kondektur menyerukan perhentianku lewat pengeras suara.

Aku berdiri. Meninggalkan bayangan.


Kenapa harus ada pergolakan rasa dan tindakan.
Gelitik penat menyerang tak diundang.
Kurapatkan jaket tebal. Dingin datang lagi.
Berulang dari waktu ke waktu.
Seperti ketidakmengertian hati akan dunia ini.
Yang datang dan pergi.


Goodbye Theo van Gogh. May you Rest In Peace.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Sebuah Dialog Diam

Kereta bergerak menyusuri alur, mendendangkan irama perjalanan. Gelap di luar memperjelas pantulan wajah di kaca. Ada aku dan dia, sang b...