Tuesday, July 25, 2006

Filosofi Kopi


Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Dee

Kata Pengantar : Goenawan Mohamad
Penerbit : Truedee Books & Gagas Media
Cetakan Pertama : Februari 2006
Tebal Buku : 134 halaman + XI

Sebenarnya, saat membaca judul buku ini, saya sudah antipati. Karena ada kopi. Minuman yang tidak saya sukai.
Kopi, bagi saya, adalah minuman pengantar tidur, bukan pengusir kantuk. Setiap kali minum kopi, saya akan mengantuk.
Malah, kopi buatan Starbucks di Indonesia ituh, bikin saya sakit perut. Ada yang salah dengan perut saya.




Tapi rasa antipati ini malah menambah keingintahuan saya ketika menerima kiriman Filosofi Kopi dari Jakarta (makasih dear Lulu dan Lisa). Apakah buku ini akan membuat saya mengantuk atau sakit perut atau keduanya? Pertanyaan awal sebelum menelusuri goresan kata yang ada.


Membuka halaman awal buku Filosofi Kopi, saya bertemu dengan deretan kata-kata endors. Ehm.. saya termasuk orang yang tidak percaya begitu saja apa kata endorser. Saya lompati.
Kemudian halaman dengan UU RI no.19 tahun 2002 tentang Lingkup Hak Cipta. Sebuah pemberitahuan dan penegasan a.k.a ancaman kah? hehe..
Halaman berikutnya memberitahukan kalau buku yang ada di tangan saya ini adalah cetakan ke 5 dalam kurun waktu 4 bulan. Cetakan 1-2 bulan Februari 2006, ke 3-4 April 2006, dan cetakan ke 5 hadir di bulan Mei 2006. Hebat! Apalagi dengan kover buku yang berbeda. Saya tidak kebagian gambar biji-biji kopi. Kover buku yang ada berwarna hitam. Yang dapat memperlihatkan jejak minyak jari jemari. :)

Membaca kata pengantar Goenawan Mohamad, sambil mengingat cara beliau bicara saat Wintersnacht di Den Haag Januari lalu, cukup menambah dalamnya arti kata-kata yang ada. "Ritme itu tak mendayu-dayu. Juga tidak ruwet, bahkan rapi." Ingin ta buktikan.

Cuap-cuap Penulis, mengajak saya untuk mengingat dan memilih salah seorang kawan yang pernah saya kenal, untuk sekedar menempatkan karakter yang 'dekat' dengan saya sambil membaca tulisan pengantar Dee. Ah, saya tidak berhasil. Saya hanya mengenal Dee sebagai seorang penyanyi dengan lagu-lagu yang saya ingat, saya suka.

Kemudian saya bertemu dengan kalimat ini :
"Untuk Mama, Pembaca pertama yang selalu percaya bakat itu ada."
Bahagialah dirimu, Dee.
Kalimat pendek yang memuat kasih tak terhingga.

8 cerita pendek yang kadang panjang, dan 10 prosa kepuisian atau puisi setengah prosa dirangkum dalam kumpulan cerita dan prosa satu dekade. Cerita pembuka Filosofi Kopi (1996) tidak melulu bicara mengenai kopi ataupun filsafat panjang yang berkelok-kelok. Cerita pendek ini telah mengantar kisah menarik dengan ending yang bikin saya iri (k'cing! hehe..). Jika kopi dianggap sebagai minuman para urban, mungkin, Ben dapat juga menciptakan filsafat kopi untuk tokoh saya. Kopi sebagai pengantar tidur dan pembersih perut. Tanpa perlu saya minum. :)

Mencari Herman (2004) bagi saya adalah tulisan yang mengalir. Ide yang sederhana, mencari nama Herman. Sudahkan Fanny menemukan Herman-nya, Dee?
Se-mengalir-nya saat saya membaca dan mengerti Surat yang Tak Pernah Sampai (2001), Sikat Gigi (1999), Lara Lana (2005), Buddha Bar (2005) dan Rico de Coro (1995).
Namun untuk mengerti atau mengartikan Sepotong Kue Kuning (1999) tidaklah semudah memahami cerita perselingkuhan yang ada. Kue kuning yang benar-benar kue kah? Yang mengenyangkan perut atau memanjakan lidah? Ataukah sebuah ungkapan? Yang mengenyangkan hati dan memuaskan nafsu.. lapar?

Dee senang menggunakan ungkapan yang tidak biasa. Setidaknya tidak biasa bagi ukuran saya. Ungkapan yang kadang dianggap 'pintar' oleh banyak orang (yang juga pintar). Tapi bagi saya yang tidak pintar, penulisan yang ada menjadikan saya makin tidak pintar. *garuk-garuk* kasian deh..

Membaca prosa yang kepuisian atau puisi yang setengah prosa semakin mengajak pembaca untuk berpikir seperti orang yang pintar; pintar menangkap makna dalam pilihan kata yang ada. Membaca prosa yang kepuisian atau puisi yang setengah prosa milik Dee seperti mengukur tingkat kepintaran saya. Seperti mengintip buku Sudoku 5 bintang milik teman tidur saya dan dengan keras kepala saya mengatakan juga bisa menyelesaikannya. Bisa, tapi dalam waktu 10-20 kali lipat lebih lama, kadang sambil menengok jawaban di halaman belakang. Dan pada akhirnya menyerah.

Sayangnya, saya tidak punya kunci jawaban dari prosa-prosa ini. Membaca ulang dengan perlahan, mungkin adalah kuncinya. Dan saya, masih terus mengulang. Berharap tidak perlu menyerah. "Ritme itu tak mendayu-dayu. Juga tidak ruwet, bahkan rapi."

Filosofi Kopi tidak membuat saya mengantuk ataupun sakit perut. Filosofi Kopi mengajarkan saya bahwa untuk menjadi pintar, perlu waktu. Mudah-mudahan bukan dalam waktu 1 dekade seperti rentang waktu pengumpulan isi buku ini. :)

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Sebuah Dialog Diam

Kereta bergerak menyusuri alur, mendendangkan irama perjalanan. Gelap di luar memperjelas pantulan wajah di kaca. Ada aku dan dia, sang b...